Header Ads

Breaking News

Cerita tragis perempuan tiga kali kabur dari Korea Utara



Hidup di bawah rezim diktator seperti Kim Jong-un, membuat warga Korea Utara tersiksa. Oleh karena itu, banyak di antara mereka mencoba kabur dari cengkeraman otoriter itu. Sebagian ada yang berhasil, namun tak sedikit juga yang menemui kegagalan dan harus bersiap menerima hukuman atas perbuatannya.

Grace Jo (25 tahun) merupakan salah satu pembelot Korea Utara yang berhasil kabur dari negaranya. Namun, upayanya melarikan diri tidak hanya dilakukan sekali, tetapi tiga kali.

"Saya pandai melarikan diri," kata Jo, seperti dilansir dari laman Asia One, Rabu (31/5).

Jo menceritakan pengalaman pertamanya kabur dari Korut. Dia melakukannya saat masih berusia tujuh tahun. Saat itu dia dan keluarganya harus berjalan sejauh ratusan kilometer untuk terbebas dari Korut.

"Kami berjalan selama empat hari tiga malam di jalan tak beraspal dan melintasi banyak gunung sampai kami tiba di Sungai Tumen," kenangnya, menyebut sungai yang memisahkan Korut dan Korsel.

Usaha pertamanya berbuah kegagalan. Dia pun harus menerima konsekuensi atas perbuatannya itu. Dia beserta ibu dan adik perempuannya (10 tahun) tertangkap oleh pihak berwenang yang berjaga di negara tetangga.

Sebenarnya bukan tanpa alasan dia dan keluarganya berencana kabur dari Korut. Pasalnya, situasi di negara itu semakin memburuk saat jutaan rakyat Korut menderita karena tidak mendapatkan cukup makanan. Ratusan orang tewas karena kelaparan.

Ayahnya yang hendak menyeberangi perbatasan untuk membeli sekantong beras tertangkap oleh pihak berwenang hingga akhirnya dipukuli dan tewas dalam kereta yang hendak memboyongnya ke tahanan.

Nasib serupa dialami oleh anggota keluarganya yang lain. Nenek dan dua adik laki-lakinya meninggal karena kelaparan. Sementara itu, kakak laki-lakinya pergi mencari makanan dan tak pernah kembali. Nasibnya pun tak jelas sampai sekarang.

"Dalam waktu singkat, hampir semua anggota keluarga saya meninggal atau hilang," ungkapnya.

Jo dan keluarganya tinggal di sebuah desa di provinsi utara Hamgyong. Selama krisis kelaparan pada paruh kedua tahun 1990 silam, dia hanya bertahan hidup dengan mengandalkan makanan seperti buah liar, jangkrik, hingga kulit pohon.

Bahkan pernah suatu kali dia dan adiknya tidak makan selama 10 hari. Rambutnya yang hitam legam sampai menguning gara-gara kekurangan nutrisi.

"Suatu hari, nenek saya menemukan enam bayi tikus yang lahir di balik batu. Bersama ibu saya, nenek merebus keenam bayi tikus itu," ceritanya.

Karena sudah tak tahan, dia dan keluarga akhirnya melakukan upaya kabur kedua kali. Ibunya menyogok seorang penjaga perbatasan agar mereka bisa lolos. Namun sayang upaya mereka kembali menemui kegagalan.

Untuk kali ketiga, tepatnya pada 2006 lalu, dia dan keluarga akhirnya berhasil lolos dari Korut berkat seorang pendeta keturunan Amerika-Korea membayar anggota Bowibu (polisi rahasia Korut) sebesar USD 10.000 untuk menjamin kebebasan ketiganya.

Jo beserta ibu dan adiknya kemudian menerima status pengungsi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Ketiganya memperoleh kewarganegaraan Amerika Serikat pada 2008.

Kini, sebagai pembelot Korut yang berhasil lolos, Jo hanya ingin berpesan kepada Presiden AS Donald Trump agar membantu rakyat Korut lain yang ingin membebaskan diri dari negaranya.

"Kami ingin Presiden Trump menerima lebih banyak pengungsi Korut ke AS. Kami minta izinkan kami juga untuk membuat pemukiman di sini," pesannya.

"Selain itu, tolong beritahu China, Vietnam dan Laos untuk menghentikan repatriasi para pengungsi Korut. Tolong berhenti mengirim mereka kembali dan mengembalikan mereka ke penyiksaan, pemenjaraan atau bahkan kematian," tuntasnya.

Tidak ada komentar

DILARANG KOMENTAR BERSIFAT SPAM DAN PROMO THANKS :)